Bukan Sendu pada Ruang Rindu

Aku hanyut oleh alirannya
Terbawa oleh arusnya
Terseret oleh lamunannya
Terdekap oleh hangatnya
Terbiasa oleh senyumnya
Ikut turut dalam setiap tarikan nafasnya

Berada jauh oleh jarak, kembali mendekat dalam imajinasinya.
Berbalik pada kenyataan yang tidak semudah itu.

image

Lalu, biarkan hujan terus berjatuhan, acuhkan pun aku tak mampu.
Begitupun rindu. Dibiarkan hingga tak mungkin tertampung lagi.
Didiamkan pun aku tak tega. Dibiarkan hingga mungkin tertumpah ruah.
Banjiri tanah-tanah gersang hingga meresap dalam dan kembali ditumbuhi bunga-bunga. Bukan sendu pada ruang rindu.

~Kau~

Pelajaran Setelahnya

Ceritaku masih tentang kekecewaan.
Kali ini datang dari seorang yang kadar sayangnya sangat aku ketahui.
Sakit di tubuhnya bisa aku rasakan.
Cinta di hatinya dapat aku tangkap.
Tangis pada malamnya bisa aku dengar.
Lelap pada tidurnya bisa aku lihat.

Mungkin kekecewaan malam itu bukan yang pertama, tapi luka yang timbul akibatnya terlalu dalam.
Darah yang dikeluarkan terlalu banyak.
Semangat menggebu itu kemudian menurun.
aku tak menyalahkan langit mendung malam itu, tapi aku menyesali api yang tiba-tiba menyambar di bawa oleh petir yang kemudian bergemuruh.
Membelah batang sebuah pohon, hingga akar-akarnya.
Tak ada yang perlu disalahkan.
Karena usaha itu harus, dan takdir itu pasti.

Suatu hari akan ada yang datang.
Membawa suka cita, dan membalut luka.
Pelajaran setelahnya.

~Aku~

Tapi, Ia hadir

image

Kenapa harus kecewa pada asap-asap yang melintas langit, membuat kabur apa yang dilihat.
Kenapa harus kecewa terhadap hujan yang tak kunjung datang, menghapus semua kekaburan itu.
Kenapa harus kecewa terhadap matahari yang terus memanggang kulit dengan panas lekat, mengeringati kain-kain yang menempel pada badan.

Kecewa itu ada. Percuma juga untuk ditutupi. Karena berharap tak sebatas ingin. Tapi kejar! Hingga kecewa tak hinggap.

Hai, apa kabar?
Aku tidak ingin kecewa.
Tapi, ia hadir.

~Kau~

Hanya Itu Pilihannya

Aku seperti dijatuhi oleh buah-buah, daun-daun, lalu batang-batang, kemudian akar-akarnya. Ketika buah manis itu aku cicipi dan nikmati, maka aku harus terima daun-daunnya yang berguguran, batang-batangnya yang kemudian lapuk, dan akar-akarnya yang rapuh.

Sudah menjadi alurnya seperti itu, buah-buah yang manis tidak akan ada. Jika akar-akarnya tak meresap air dan nutrisi lainnya untuk kemudian disalurkan ke batang, pun semua unsur yang dihasilkan daun. Serta semua komponen yang bersatu berusaha mewujudkan bunga lalu menghasilkan buah.
Berpadu mewujudkan apa yang diinginkan. Membagi hasil untuk sebuah kebahagiaan. Yang di dalamnya tidak lepas dari proses panjang yang melelahkan. Mencukupkan apa yang terasa kurang. Yang di dalamnya selalu ada hikmah.
Bersyukur dan bersabar. Hanya itu pilihannya.

~Aku~

Bukan kopinya, tapi cerita di baliknya

Jenis keributan pagi hari cekam siapa saja yang melewatinya. Jangankan melewatinya, diam berdiri saja mereka mendekat. Aku merasakan aroma-aroma pinus bertebaran di sekitar kursi kayu yang ketika itu aku duduki. Berayun-ayun mengajakku masuk ke dalam ceritanya. Bermanja-manja untuk segera aku kuliti kisahnya.

Dalam keramaian itu, setiap isi pikiran dan hati masing-masing punyai pertimbangan. Ada ganjal-ganjal keluh kesah yang sudah rela ditebar dan berbaur bersama hawa pinus itu. Ketika waktunya tiba, aku masukkan kembali keluh kesah itu bersama tegukan tipis dari secangkir kopi beraroma nangka. Sehingga pekat yang ditimbulkannya menghapus perasaan mengganjal itu. Aku bukan ingin menguak kisahnya. 

Bukan kopinya, tapi cerita di baliknya.

~Kau~

Hitam Saja

Selalu ada tinta hitam pada lembaran apapun. Hitam yang tidak terlihat karna ditutupi sampul oleh tuannya. Hitam yang tak satupun orang mengetahuinya. Bisa disembunyikan pada bagian yang dirasa sangat aman. Hingga hitam sama sekali tak terlihat.

Ada saja yang membagi hitamnya. Saling menutupi satu sama lain. Hingga kecewa saja ketika ada sebagian hitam yang diketahui. Tidak bisa hilang dari ingatan, bahkan sangat membekas dan tidak percaya. Hanya itu adanya.

Hitam itu mencekam bukan pada malam. Tapi terasa mimpi saat terbangun di fajar. Tak ada lagi bentangan alam yang dirindukan. Tak ada lagi senyum-senyum yang tulus. Ketika perih kecewa itu diumbar pada bayang-bayang yang tak habis fikir.
Aku tak tahu harus apa. Hitam saja.

~Aku (saja)~

Aku, yang Sungguh Mencintaimu

Hai, terimakasih untuk kemarin, dan hari-hari sebelumnya.
Semoga kesejahteraan tetap bersamamu.
Semoga ini menjadi waktu yang tepat untuk aku pergi dari kota cinta itu. Mungkin raga akan kembali lagi ke sini pada waktunya, eh mungkin juga tidak.

Bersama kepergianku, aku ucapkan salam rindu dari hati yang terdalam. Belum tahu hingga kapan kita bisa mempertemukan raga kita kembali yang dibalik itu adalah untuk memenuhi keinginan hati yang terus berucap rindu.

Kepadamu, aku tuliskan tulisan ini pengganti kata yang mungkin tak sanggup aku ucapkan. Kehijarahanku bukan berarti keputus asaanku terhadap waktu, tapi mungkin ini adalah sesuatu yang sudah ditetapkan-Nya.

Lalu aku ingin sedikit bercerita tentang hari kemarin. Bersamamu membuat aku tetap menjadi seorang aku. Tak perlu aku jelaskan sifat-sifatku yang sebenarnya bisa kau lihat dan rasakan. Tapi selalu ada kecurigaan atau ketidak yakinan yang mungkin datang mengusikmu. Hingga jujur aku katakan, diriku pun merasakannya. Merasakan apakah yang kau perbuat terhadapku, benar-benar karena rasa cinta. Atau mungkin hanya kasihan, atau hanya ingin membalas untuk menghargai sekedarnya. Kalau memang benar, mungkin ini adalah luka yang perih sekali.

Tidak tahu bisikkan dari mana. Setankah? Tapi aku selalu ingin berfikir positif tentang kau. Sekalipun pada kenyataannya ada perasaan menyangkal. Tidak tahu datangnya dari mana. Mungkin kau juga merasakannya.

Tentang semua cerita yang aku ungkap padamu, aku ingin memberikannya secara sukarela. Terlepas apakah kau mempedulikannya atau tidak. Hingga tidak ada lagi kisah hidupku yang aku sembunyikan darimu. Sebegitunya aku ingin kau mengetahui segalanya tentangku. Hingga semuanya aku bebaskan pada seorang kau soal apa yang aku rasa. Dan aku tidak tahu apakah dari cerita-ceritaku itu ada yang menyakitimu. Kau tidak pernah jujur soal itu.

Bersamamu aku tersemangati, termotivasi, terlindungi, aku merasa bahagia, kadang merasa kesal, dan juga sedih. Kadang aku juga menaruh curiga, apakah itu memang benar kau lakukan untukku, atau mungkin ada wanita lain yang beruntung memperoleh perhatianmu juga.

Tentang hidup bersama, itu juga yang aku inginkan. Berada di sebelahmu sebagai pelengkapmu adalah harapanku. Duduk berdampingan denganmu, sambil menatap senja. Menonton matahari tenggelam di ujung mata. Saling mendekap dan berlalu menikmati malam hingga tertidur. Ketika bangun, hanya kau yang aku lihat.
Indah sekali.

Aku sungguh senang berada pada imajinasiku yang kau aku masukkan ke dalamnya sebagai pelengkap hidupku hingga hari akhir untuk membangun cerita-cerita baru bagi masa depan yang mengkin akan kita hadapi. Hidup bersama di dalam satu bingkai cerita hingga tamat.

Ketika kau manuliskan bahwa aku bukanlah wanita yang mudah mengungkapkan isi hati, maka hari ini aku ungkapkan segala keinginanku. Hingga kau tak perlu menanyakan kabarku atau pun perasaan yang aku rasakan, dan terus menunggu hingga ketiduran.

Aku bangga pada kau yang tidak ingin bahkan tidak perlu seperti pasangan lainnya. Memberanikan diri berucap cinta dan ingin jadikan pacar. Aku bangga padamu bisa memendamnya walaupun terlihat sulit. Menahan keinginan itu.
Sungguh luar biasa. Aku sangat berterimakasih juga soal itu.

Kalau hatimu bersedih ketika tulisan ini kau baca, maka akupun merasa tak sanggup ketika menuliskannya. Biarkan saja linangan air mata itu terurai. Hingga kita merasakan kepedihan yang sama, hai kau yang aku sayang.

Bersama tulisan ini pula, aku ingin menyampaikan keinginanku. Jika nanti kau sudah siap untuk menjalani hidup bersamaku, maka datangilah orang tuaku walaupun itu tanpa sepengetahuanku. Tapi, jika kau ragu atau mengharapkan orang lain sebagai yang akan mendampingimu, maka aku sudah siap menerima untuk tidak bersama. Aku sudah siap untuk menerima kekalahannya.

Dan tentang hari ini, aku bebaskan kau untuk melanjutkan hidupmu tanpa aku. Karena, mungkin terlalu banyak pengaruh yang tidak baik yang aku berikan padamu. Semakin aku kecewa mendengar nilai-nilai ujianmu yang tidak kau harapkan. Maka rasa bersalah dalam diriku bermunculan. Selain itu, mungkin kau merasakan hari-hari yang semakin membosankan, dan membuat kau marah dan resah. Sifat-sifatku yang mungkin bisa dinilai masih kekanak-kanakan, yang aku sebut belum dewasa. Mungkin aku butuh kau untuk membimbingku. Atau mungkin akan lebih baik jika kau melupakannya, dan anggap saja aku adalah masa lalu yang sangat membosankan.

Terimakasih atas hubungan ini. 
Yang aku rasa sangat spesial dan dalam, yang telah berhasil mengaduk-aduk perasaanku. Kadang melambungkanku ke atas langit untuk bertemu bintang-bintang, dan kadang menenggelamkan aku ke dasar lautan untuk dimakan hiu.
Maafkan aku yang terlalu sering mengecewakanmu. Bukankah ini sebuah proses, sayangku? Proses yang masing-masing bisa kita ambil hikmah dan pelajarannya.

Ketika aku berjanji untuk hidup bersama, hingga kini aku masih mengaharapkannya. Berada pada satu atap rumah sederhana yang kita bangun bersama membangun keluarga yang diimpikan. Ketika aku katakan aku ingin memilikimu seutuhnya, maka aku sudah siap atas semua konsekuensinya.

Aku berikan kepadamu kesempatan untuk memilihnya. Pergi lalu meninggalkan, atau berdiri di sini bersamaku dengan cara yang sudah ditentukan. Soal ini aku tahu kau lebih paham, lebih mengerti.
Semoga kita selalu mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Allah atas segala petunjuk dan takdirnya. Mengindahkannya dan berlapang dada mensyukurinya. Memang berat, tapi Allah akan membuatnya lebih ringan kalau kita yakin pada-Nya. Aku takut, kalau hubungan ini menjadi dosa-dosa yang semakin menumpuk. Bukan aku munafik, tapi selalu ada perasaan seperti itu pada benakku.
Semoga memang nama kita berdua yang disandingkan sebagai pasangan dalam lauhul mahfudz.
Terimakasih Dimas Dwi Arso (yang terkasih). Jangan pernah ragu pada dirimu sendiri.

salam dari hatiku.

Tertanda,
Aku, yang sungguh mencintaimu
Nurhani Fithriah.

image

Harapan dalam Pencarian

Aku ingin berdesakan masuk ke dalam harapan-harapanmu. Aku ingin setiap yang keluar dari mulutmu adalah doa yang kau panjatkan juga menyebutkan aku di dalamnya, untukku. Aku ingin setiap kehangatan yang bisa kau salurkan adalah ketika aku ingin.
Begitu banyak yang aku ingin, padahal kesempurnaan pada diriku adalah tiada.
Berbagi denganmu aku pun ingin. Berdekatan, saat kedua sisi tanganmu menempel pada sisi tanganku. Pada pundakku pun tak apa. Aku ingin merasakannya.
Mungkin di langit tak ada lagi ruang untuk harapan-harapanku yang terlalu banyak. Bertabrakan dengan harapan-harapanmu yang tak kalah banyaknya. Masing-masing harapan itu mencari pasangannya. Harapan dalam pencarian.

~Kau~

Tanpa Aku

image

Sepertinya…
Sudah waktunya, seperti waktu yang tepat.
Sudah seperti tepat waktu.
Hari yang ditunggu, atau hari tak lagi menunggu. Ombak tak lagi menggulung, atau keadaan sudah semakin tenang. Biarkan susunan hurup ini yang membawanya.

Tidak ada lagi aku, atau kau. Mungkin hanya ada keadaan tenang saja. Tidak ada lagi matahari, atau senja. Mungkin akan ada bintang, pada malam gulita. Atau tidak akan ada lagi bintang, tapi bulan. Tidak ada lagi menduga-duga. Atau hanya seperti angin semilir saja. Hanya lewat. Saja.

Akan ada subuh, terdengar kicauan, yang mungkin tidak lagi bisa kubaca. Atau keceriaan sinar, yang tidak lagi bisa kumaknai.

Sudah kucoba, dan aku mohon jangan pernah katakan apapun. Atau jangan pernah menyesali apapun. Tanpa aku.

~Kau~

Bersandar

Ketika aku ingin bersandar, maka aku ingin bersandar pada posisi yang nyaman.
Ketika aku bersandar, adalah ketika aku penat pada segala bentuk urusan keduniawianku.
Ketika aku bersandar, aku hanya ingin menghela nafas, dan tersadar “oh ternyata..”
Dan ketika aku sangat sangat ingin bersandar, aku hanya ingin bersandar pada bahu kokoh, khusus karenanya sudah menjadi milikku.
Bersandar.

~Aku~